MENYANYI
Yayasan Perpustakaan Injil Indonesia
Kotak Pos 1114
Surabaya-60011
“Aku hendak menyanyi bagi TUHAN selama aku hidup, aku hendak bermazmur bagi Allahku selagi aku ada.”
Mazmur 104:33
“Dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati.”
Efesus 5:19
Pembacaan Alkitab:
Mazmur 104:33: “Aku hendak menyanyi bagi TUHAN selama aku hidup, aku hendak bermazmur bagi Allahku selagi aku ada.”
Efesus 5:19: “Dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati.
Matius 26:30: “Sesudah menyanyikan nyanyian pujian, pergilah Yesus dan murid-murid-Nya ke Bukit Zaitun.”
Kisah Para Rasul 16:25: “Tetapi kira-kira tengah malam Paulus dan Silas berdoa dan menyanyikan puji-pujian kepada Allah dan orang-orang hukuman lain mendengarkan mereka.”
Setelah seseorang percaya Tuhan, ia perlu belajar menyanyi. Jika orang Kristen bersidang namun tidak tahu bagaimana menyanyi, itu adalah suatu kesulitan yang sangat besar. Dalam bersidang, hal berdoa sering kali diabaikan, mungkin hal menyanyi lebih-lebih diabaikan. Itulah sebabnya kita wajib belajar menyanyi. Kita bukan ingin menjadi penyanyi ahli melainkan ingin mengenal nyanyian dan justru inilah yang penting.
I. PERASAAN NYANYIAN
Dalam Alkitab ada nubuat, sejarah, doktrin, ajaran, dan perintah. Dalam Alkitab juga ada nyanyian (kidung). Nyanyian merupakan pengutaraan yang paling lembut dan halus dari perasaan manusia. Bahkan perasaan manusia berdoa di hadirat Allah pun tidak sehalus dan selembut menyanyi di hadirat Allah. Allah menghendaki kita semua memiliki perasaan yang halus dan lembut, karena itulah di dalam Alkitab Allah memberi kita bermacam-macam nyanyian, bahkan banyak nyanyian. Bukan hanya Mazmur, Kidung Agung, Ratapan, malahan kadang-kadang di tengah-tengah sejarah dan perintah, diselingi beberapa nyanyian (Kel. 15:1-18; Ul. 32:1-43). Di dalam Surat-surat Kiriman Paulus yang mengandung begitu banyak doktrin; juga disisipi nyanyian-nyanyian (Rm. 11:33-36; 1 Tim. 3:16 dan lain-lain). Kesemuanya itu memperlihatkan kepada kita bahwa Allah menghendaki umat-Nya mempunyai perasaan yang halus dan lembut.
Perasaan Tuhan kita itu lembut dan halus. Lain dengan perasaan kita, ada yang lembut ada juga yang kasar. Marah-marah, gusar, itu kasar. Ada orang yang tidak marah-marah, namun belum tentu lembut. Allah menghendaki kita berbelaskasihan, penyayang, murah hati, bersimpati, sebab yang sedemikian inilah yang halus. Allah menghendaki kita menyanyi di saat mengalami kesusahan, memuji di tengah-tengah penderitaan, memuja nama Allah, karena semua itu adalah pertanda adanya perasaan yang halus. Ketika seseorang mencintai orang lain, niscaya perasaannya itu halus; seseorang mengampuni orang lain, niscaya perasaannya lembut; seseorang yang membelaskasihani orang lain, niscaya perasaannya lembut.
Allah ingin membimbing anak-anak-Nya menempuh jalan yang semakin lama semakin lunak, halus, dan lembut, semakin seperti nyanyian. Semakin banyak seseorang belajar di hadapan Allah, maka perasaannya akan semakin halus, lembut seperti nyanyian; sebaliknya, semakin sedikit seseorang belajar di hadapan Allah, maka perasaannya akan semakin kasar, sehingga jauh berbeda dengan nyanyian. Orang Kristen yang menghadiri sidang dan berjalan dengan derap langkah kaki yang keras, tanpa menghiraukan perasaan orang lain, itu menunjukkan bahwa dia tidak mirip dengan orang Kristen yang pernah belajar. Kalaupun ia bernyanyi, tidaklah mirip dengan nyanyian. Orang yang memasuki ruang sidang sambil menyenggol/ menabrak kanan kiri, sampai-sampai kursi pun terguling, ia tidaklah mirip dengan penyanyi. Kita harus tahu bahwa sejak kita diselamatkan, Allah ingin melatih perasaan kita agar dari hari ke hari lebih lembut dan halus. Jika mau menjadi orang Kristen yang baik, wajiblah memiliki perasaan yang halus. Di hadapan Allah, perasaan manusia yang mengalir keluar dari lubuk hatinya, itulah perasaan kidungnya. Allah menuntut dari anak-anak-Nya perasaan yang lembut dan halus. Jangan membiarkan perasaan kita, menjadi kasar. Perasaan yang kasar bukanlah nyanyian, perasaan yang kasar bukan barang milik orang Kristen.
II. SYARAT NYANYIAN
Setiap nyanyian yang memenuhi syarat tentu memiliki tiga unsur. Jika kekurangan salah satu dari ketiga unsur tersebut itu bukanlah nyanyian yang baik.
Pertama, harus memiliki dasar kebenaran. Nyanyian yang sesuai dengan unsur lainnya, keliru dalam kebenarannya. Jika menyuruh anak-anak Allah menyanyikan nyanyian yang demikian, itu berarti menaruh mereka ke dalam kekeliruan, dan menyuruh mereka datang ke hadirat Allah dengan kekeliruan, itu tidaklah layak. Ketika anak-anak Allah menyanyi, mereka perlu mengarahkan perasaan mereka kepada Allah. Jika di dalam nyanyian terdapat kekeliruan kebenaran, hal itu membuat mereka tidak lebih dari menipu dirinya sendiri, sehingga mustahil menjamah realitas. Allah tidak dapat membiarkan kita menghadap-Nya dengan syair, melainkan dengan kebenaran. Kita hanya bisa menghadap Allah di dalam kebenaran; menghadap tanpa kebenaran itu salah dan tidak akan menjamah realitas.
Misalnya, ada sebuah nyanyian Injil yang menyinggung tentang darah Tuhan Yesus membasuh hati kita. Dalam Perjanjian Baru, kita tidak pernah menemukan kalimat yang mengatakan, “darah Tuhan Yesus membasuh hati kita.” Darah Tuhan Yesus bukanlah membasuh hati kita. Alkitab tidak pernah mencantumkan demikian. Ibrani 9:14 mengatakan bahwa darah Tuhan Yesus mencuci bersih hati nurani, bukan hati. Darah Tuhan mencuci bersih dosa-dosa kita. Karena dosa terbasuh, maka hati nurani kita tidak lagi menggugat kita di hadirat Allah. Jadi, darah itu untuk membasuh hati nurani, bukan hati. Hati kita tidak mungkin dicuci bersih oleh darah. Hati manusia lebih licik daripada segala sesuatu (Yer. 17: 9); bagaimanapun mencucinya, tidak akan menjadi bersih. Tentang hati, Alkitab hanya mencantumkan membuang hati batu manusia dan menggantinya dengan hati daging (Yeh. 36:26). Kita diberi hati baru, bukan hati lama kita dicuci. Ketika seseorang percaya kepada Tuhan, ia dikaruniai Allah sebuah hati yang baru, bukan hati lamanya dicuci; rasa berhutang pada hati nuraninya yang dibasuh, bukan hatinya. Kalau di hadapan Tuhan Anda memuji, “Darah Yesus membasuh hati kami”, pujian semacam ini tidak sesuai dengan kebenaran. Hal ini sangat serius. Jika doktrin sebuah nyanyian itu salah, itu akan menjerumuskan orang ke dalam perasaan yang salah juga.
Banyak nyanyian yang tidak jelas batas-batas zamannya. Entah itu dinyanyikan Abraham atau Musa, entah itu dinyanyikan orang-orang Yahudi atau orang-orang Kristen, entah itu dinyanyikan dalam Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru. Kalau Anda menyanyikan lagu tersebut, itu bisa membuat Anda seolah merasa bahwa Anda adalah malaikat yang tidak ada sangkut pautnya dengan penebusan, atau bisa membuat Anda merasa bahwa diri Anda tidak memerlukan darah karena tidak berdosa. Jadi, sebuah nyanyian yang tanpa ada ajaran zaman yang tegas, tanpa nampak zaman karunia, niscaya akan menempatkan anak-anak Allah pada kedudukan yang salah.
Banyak pula nyanyian yang tanpa jaminan/ pegangan, hanya menaruh harapan saja: mengharap beroleh selamat, mendambakan beroleh selamat, mencari-cari keselamatan. Sedikit pun tidak ada kemantapan; jaminan/ pegangan sebagai orang Kristen sama sekali tidak dimilikinya. Kita harus ingat bahwa setiap orang Kristen yang datang ke hadirat Allah harus membawa kemantapan. Kita datang ke hadirat Allah dengan penuh iman dan penuh pegangan. Bila seseorang menyanyi seolah ia berada di luar pelataran, itu akan membuat orang lain merasa bahwa ia bukanlah umat Allah, ia hanya rindu menjadi umat Allah saja. Ada lagi nyanyian yang seolah tidak mendapat karunia Allah, karena selalu minta-minta saja. Nyanyian macam itu juga akan menempatkan orang Kristen pada kedudukan yang salah. Itu bukan kedudukan orang Kristen. Kedudukan orang Kristen pasti mempunyai pegangan dan kemantapan, tahu bahwa dirinya telah diselamatkan. Setiap nyanyian yang tanpa pegangan, tidak patut dinyanyikan orang Kristen.
Satu kesalahan yang umum dan sering kita temukan di dalam nyanyian-nyanyian, yaitu yang mengungkapkan bahwa setelah manusia mati segera masuk ke, dalam kemuliaan. Banyak nyanyian yang mengungkapkan, setelah mati masuk ke dalam kemuliaan. Seolah-olah manusia bisa masuk ke dalam kemuliaan melalui Kematian. Tetapi, Alkitab tidak pernah menyebutkan manusia mati berarti masuk ke dalam kemuliaan. Masuk ke dalam kemuliaan itu adalah hal yang lain. Kita mati bukanlah masuk ke dalam kemuliaan; melainkan menunggu kebangkitan. Tuhan masuk ke dalam kemuliaan setelah Ia bangkit dari Kematian. Ini jelas dikatakan di dalam Alkitab (1 Kor. 15:43; 2 Kor. 5:2-3). Nyanyian yang membuat anak-anak Allah timbul perasaan yang keliru, yang mengira “setelah mati segera masuk ke dalam kemuliaan”, tidak patut kita nyanyikan, karena pada faktanya tidak ada perkara itu.
Nyanyian yang baik harus memiliki kebenaran yang tepat. Tanpa kebenaran yang tepat, akan menggiring orang-orang Kristen menyimpang ke dalam kekeliruan.
Kedua, memiliki kebenaran yang tepat, masih belum bisa dikatakan sebagai nyanyian; harus pula memiliki bentuk dan konstruksi nyanyian. Bukan karena kebenarannya tidak salah, kebenaran memang harus tepat, tapi harus ditambah pula bentuk dan konstruksi, barulah berupa nyanyian. Menyanyi bukanlah berkhotbah; kita tidak bisa menyanyi dengan catatan-catatan pembahasan Alkitab. Nyanyian yang dimuat di dalam Mazmur, semuanya mempunyai rasa nyanyian. Susunan dan pengutaraan dalam setiap nyanyian adalah sangat lembut, sambil mencurahkan maksud Allah ke dalam kalimat-kalimat pemazmur. Maka, bukan hanya ditentukan oleh panjang pendeknya kalimat, juga oleh susunan dan bentuk nyanyian.
Ketiga, di samping mempunyai kebenaran, bentuk, dan konstruksi, sebuah nyanyian juga harus memiliki kontak rohani, yaitu harus dapat menjamah realitas rohani.
Misalnya, Mazmur 51, merupakan syair Daud bertobat. Ketika kita membacanya, kita dapat menemukan bahwa ketika Daud bertobat, tidak terdapat kekeliruan doktrin. Kata-katanya bukan sembarangan, susunannya tidak sederhana. Selain itu, kita dapat merasakan ada suatu benda terkandung di dalamnya; ada realitas rohani, ada perasaan rohani. Ini bisa kita sebut sebagai beban yang terkandung di dalam syair. Dia bertobat, perasaan bertobat memenuhi syairnya. Setiap kali kita membaca Mazmur, terasa suatu keistimewaan, yaitu semua perasaan yang terkandung di dalamnya itu dapat diandalkan. Ketika penyairnya bergembira, ia melonjak-lonjak serta bersorak-sorai; ketika sedih, ia menangis tersedu-sedu. Bukan hanya kata-kata tanpa realitas, melainkan di dalam kata-kata termuat realitas rohani.
Jadi, nyanyian tidak saja harus memiliki doktrin yang tepat, memiliki bentuk dan susunan, juga harus memiliki perasaan realitas rohani. Dengan kata lain, kalau sebuah nyanyian itu menangis, haruslah menangis; kalau senang, haruslah senang. Ketika ia mencurahkan sesuatu, haruslah membuat kita merasakan sesuatu itu. Kita tidak bisa menyanyikan sebuah nyanyian pertobatan dengan perasaan di dalam kita tak beresonan, apalagi makin menyanyi makin tertawa bergelak. Kita tidak bisa berkata bahwa kita menyanyikan puji-pujian kepada Allah, sedangkan kita tidak gembira atau merasa girang. Tidaklah sesuai, jika kita menyanyikan kidung pernyataan konsikrasi, tetapi perasaan kita bukan konsikrasi. Tidaklah cocok, jika kita menyanyikan bahwa kita rebah di depan Allah, diremukkan Allah, tetapi tetap merasakan diri kita ini baik, dan masih boleh dibanggakan. Sebuah nyanyian yang tidak mampu memberi kita perasaan yang tepat, tidaklah tergolong nyanyian yang bagus. Perasaan nyanyian seharusnya riil dan menjamah realitas rohani.
Sebuah nyanyian harus tepat dalam kebenaran, mempunyai konstruksi nyanyian, dan bisa membuat penyanyinya menjamah realitas rohani, menjamah apa yang terkandung di dalam syair-syairnya. Kalau tidak, itu tidak patut disebut sebagai nyanyian yang memenuhi syarat. Ketiga syarat itu harus lengkap terpenuhi, barulah dapat disebut nyanyian yang bagus.
III. CONTOH-CONTOH NYANYIAN
Mari sekarang meninjau beberapa nyanyian:
Contoh pertama – Kidung no. 110
- Dengar, suara menggelegar,
Junjung tinggi Sang Domba;
Laksaan saleh beresonan,
Harmonis pun tak hingga. - Tiap penjuru puji Domba,
Genap surga bergita;
Tiap mulut nyanyi riang,
Penuh luap pujian. - Wangi syukur p‘ri ukupan,
Membubung pada Bapa;
Semua lutut sembah Putra,
Memujilah serempak. - Terang Putra menyatakan,
Mulia Bapa sepenuh;
Hikmat Bapa `nyatakan jua,
Sang Putra sama agung. - Roh Kudus `nembus segala,
Kaum surga selaras;
Kelilingi Domba Suci,
Memuji Dia Sang Kekal. - Ciptaan baru puas kini,
Lega, riang, dan pasti,
Berkat s’lamat yang diberi,
Bebas tak t’rikat lagi. - Dengar! Surga riuh kembali,
Kidung puji menggema;
Cakrawala penuh amin!
Amin atas kurnia-Nya.
Di antara nyanyian-nyanyian yang pernah kita nyanyikan, hampir tidak ada nyanyian yang lebih megah daripada nyanyian ini. Nyanyian ini adalah karangan Darby. Semula terdiri dari tiga belas bait. Pada tahun 1881, saat ia menyanyikan kembali bersama dengan Saudara Wigram, ada beberapa bait yang dikurangi sehingga tinggal tujuh bait.
Gaya nyanyian ini seolah ditujukan kepada manusia, tetapi sebenarnya ditujukan kepada Allah. Ketika kita menyanyikannya, dengan sendirinya terasa seolah menjumpai suasana dalam Wahyu 4 dan 5, nampak keadaan alam semesta setelah Tuhan terangkat ke surga. Di sini terdapat Golgota, kebangkitan, dan kenaikan (terangkat ke surga). Di surga penuh kemuliaan; terhadap nama Yesus, semua mulut mulai memuji, semua lutut mulai bertelut dan menyembah. Di surga, di bumi, di bawah bumi, semua penjuru menggemakan puji syukur, alam semesta melagukan puji-pujian. Sungguh sangat riuh rendah! Sungguh sangat megah! Bila kekuatan berkurang sedikit saja, mustahil sanggup menuliskan nyanyian serupa ini.
“Dengar, suara menggelegar”, tiba-tiba muncul suara menggelegar! Penyanyinya seolah seorang Kristen yang kecil, manusia kecil, yang sedang menyerukan: “Dengarlah hai kalian, suara menggemuruh, serempak menjunjung tinggi Anak Domba Allah” Dengarlah, ada lagi “laksaan kaum saleh serta merta memberikan respons.” Begitu Anak Domba Allah dijunjung tinggi, sekaliannya segera memberikan respons! Di sini suara pujian, di sana suara resonan. Suara menggelegar: “Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!” (Why. 5:11-12). Belum saja suara ini lenyap, sudah disusul oleh suara laksaan, `Aku mendengar semua makhluk yang di surga dan di bumi dan di bawah bumi dan di laut dan semua yang ada di dalamnya” (ayat 13), semuanya berespons. Bagaimanakah suasananya? “Harmonis pun tak hingga“. Suara menggelegar mengandung kekuatan yang tak terbatas. Di sini penyanyinya merasa dirinya betapa kecil dan rendah. Bait pertama membawanya kepada pemandangan yang megah dan luas. Suara menggelegar, sahutan laksaan kaum saleh menerjang tak terbatas, serentak menggetar, menjunjung tinggi Anak Domba Allah. Baru mulai sudah merupakan perasaan yang semegah itu. Inilah puji-pujian besar di antara alam semesta.
Selanjutnya, bait demi bait menyusul dengan baiknya. “Tiap penjuru puji Domba!” Terdengar pula suara berserasi dari empat penjuru “Puji Anak Domba!” Semua senada “Puji Anak Domba!” Di mana-mana senada dan seirama “Puji Anak Domba!” “Genap surga bergita”. Untuk apa surga berhimpun? Untuk bergita bersama “Tiap mulut mengaku lantang”. Sampai saat itu, berapa banyaknya mulut, sebanyak itu pula yang mengakui Dia. Maka terbuktilah Filipi 2, “tidak ada satu pun yang tidak mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan.” Itulah yang lantang dan serasi. Alam semesta “penuh luap pujian“. Tak kunjung henti pujian membanjiri alam semesta.
Di samping suara ada juga “wangi syukur pri ukupan”. Syukur dari lubuk hati, laksaan asap semerbak membubung terus, menuju ke takhta Bapa. Bukan sekadar mulut bersuara, bahkan angan-angan dan niat hati pun terus-menerus tertuju kepada Allah. Bukan hanya mulut menyeru Anak Domba, hati pun turut mengarah ke hadirat Allah. Rencana Allah tidak mungkin terpisah dengan penebusan Tuhan. Kita memuji Anak Domba, kita pun berterima kasih kepada Allah Bapa. Rasa puji dan rasa syukur tidak henti membubung bagaikan asap wangi ke hadirat Allah.
Pujian yang demikian masih tidak cukup. Mulut bersuara masihlah kurang. Mengapa? Karena semua lutut wajib bertelut dan menyembah. Semua lutut tidak bisa tidak bertelut dan sambil menyembah Tuhan. Dari “tiap mulut” ke “tiap lutut”. Disamping berterima kasih kepada Bapa, juga bertiarap di depan Tuhan. Kalimat berikutnya benar-benar merupakan syair: “maksud surga selaras”. Ini bukan membicarakan doktrin. Orang yang kasar perasaannya, tidak akan merasakan apa-apa di sini. Namun, jika seseorang sudah terbawa ke suatu tingkat, sehingga melihat sasaran dari tiap mulut dan tiap lutut, niscaya akan dengan girang bersorak: “maksud di surga alangkah selaras!”
Sewaktu penyairnya menjamah pada Bapa dan Putra, terbawalah masuk doktrin Putra dan Bapa; tertampil seluruhnya. “Terang Putra menyatakan, mulia Allah sepenuh”; kemuliaan di dalam, sedang terang di luar. Bapa memiliki kemuliaan, di atas Putra menjadilah terang/cahaya. Atas diri Bapa itulah kemuliaan, atas diri Putra itulah cahaya kemuliaan. Penyorotan terang bukanlah pada Bapa, melainkan pada Putra. “Hikmat Bapa nyatakan jua”. Hikmat yang ada di dalam, menyatakan “Sang Putra sama agung”. Bukan perbuatan Bapa tetapi hikmat Bapa; bukan pekerjaan Bapa, tetapi rencana Bapa; yang diperlihatkan kepada manusia, bahwa Putra itu sama agung dan terhormat. Bait ketiga, adalah dari Bapa ke Putra. Bait keempat, adalah dari Putra ke Bapa. Setelah ke Bapa, kembali ke Putra lagi. Bait keempat bermula dari Putra dan berakhir pada Putra. Bait ketiga sudah menjamah pada Putra, dan bait keempat menjamah pula pada Putra. Di sini tertampaklah doktrin Bapa dan Putra.
Setiap orang yang telah menjamah Bapa dan Putra, tidak akan cukup jika berhenti sampai di sini. Karena itu selanjutnya dikatakan lagi: “Roh Kudus menembus s’gala”. Lihatlah, Roh pun muncul. Ketika Roh Kudus tertampil, keadaannya berlainan dengan keadaan Putra dan Bapa. Roh Kudus menembus ke mana saja, meresapi segala dan meliputi segala. Alam semesta penuh Roh Kudus.
“Kaum surga selaras”. Kaum surga, ini pun merupakan ungkapan syair. Para malaikat di surga, makhluk-makhluk di surga, kaum surgawi yang tak terhitung jumlahnya, tidak mempunyai permintaan apa-apa lagi. Bila ada permintaan, tentu tidak akan ada puji-pujian, tetapi berdoa. Hari itu, segenap kaum surga, kaum yang tak terhitung jumlahnya, tidak ada seorang pun yang bermohon. Semuanya “mengelilingi Domba dengan riang”, memuji Dia Sang Kekal. Sang Kekal yaitu “Akulah TUHAN” (lihat Kel. 3:14, 6:2). Ini benar-benar kidung puji-pujian, kidung puji-pujian yang megah agung!
Kita harus pula melihat ke sekitar. “Ciptaan baru puas kini, lega, riang, dan pasti.” Di sekeliling, semuanya puas, lega, mantap, dan riang gembira. Masing-masing puas marem, damai sentosa, mantap, dan riang. Kesemuanya ini dikarenakan “berkat kurnia yang diberi.” Sehingga kini “bebas ikatan dan siksaan”. Segala permasalahan sudah berlalu.
Mungkin tanpa disadari kita seolah telah melihat terlalu jauh. “Dengar, surga riuh kembali”. Sudahkah mendengar? “Kidung puji menggema”. Suara pujian kembali membanjir dari segala penjuru. Dengarkan pula, “Cakrawala penuh amin”. Tiap pelosok di alam semesta, terdengar gema “Amin”. Tidak ada satu tempat pun yang tidak meng”Amin”. Apa sebabnya? “Amin atas kurnia-Nya”. Bukan setelah selesai menyanyi baru berkata “Amin”, tetapi “Amin atas kurnia-Nya”.
Nyanyian ini memperlihatkan kepada kita alam semesta yang telah tertebus. Yakni, situasi yang digambarkan dalam Wahyu 4, 5, dan Filipi 2. Inilah puji-pujian di dalam kekekalan.
Contoh kedua – Kidung no. 423
- Tekad rapuh, t‘naga lemah,
Harapanku punah sudah;
Hanya sandar garapan-Nya,
Lembut, mesra ku dipapah. - Aku sudah berusaha,
Tapi gagal, s’lalu gagal;
Oleh sabar-Mu `tiasa,
Hingga suara-Mu terdengar. - Waktu hati agak bangga,
Nyaris aku terjerembab;
Ku tak b’rani apa-apa,
Ku perlu Kau dalam s gala. - Ya, P’nolongku yang perkasa;
Kini ku pandang wajah-Mu;
Aku orang yang terlemah,
T’nagaku itu kurnia-Mu.
Nyanyian ini adalah salah satu nyanyian yang sangat baik di antara nyanyian-nyanyian dari manusia yang ditujukan kepada Allah.
“Tekad rapuh, t’naga lemah”; tekad rapuh itu adalah yang batiniah, tenaga lemah itu adalah yang lahiriah. Batin ingin menetapkan, namun tak berdaya. Lahir ingin mengamalkan, tetapi tidak mampu. Bertekad rapuh, berlari pun lumpuh. “Harapanku punah sudah”. Lalu bagaimana aku ini? “Hanya sandar garapan-Nya”. Tadinya, penulis nyanyian ini berbicara kepada diri sendiri, sekarang ia berpaling kepada Allah. Dan setelah berhadapan dengan Allah, ia mengharapkan Allah memapahnya dengan “lembut mesra”. Artinya, “Kini selain papahan dan bimbingan-Mu setapak demi setapak, harapanku telah punah seluruhnya.” Dia berdiri di atas kedudukan yang demikian.
Selanjutnya: “Aku sudah berusaha”. Pengungkapan demikian menimbulkan perasaan syair. Ini bukan khotbah, tetapi nyanyian. “Tetapi gagal, s’lalu gagal”. Akhirnya bagaimana? Kecewa total, berhubung tidak ada yang bisa diandalkan. Lalu bagaimana? “Oleh sabar-Mu `tiasa”. Bagaimanakah “sabar-Mu”? Membuat “suara-Mu terdengar”. Dengan kata lain, aku tidak ada harapan lain di sini, kecuali satu saja, apakah itu? Kekuatan-Mu! Kekuatan-Mu mendesak serta memaksa aku agar patuh. Diriku ini tidak ada gunanya. Aku sudah sangat mengenal diriku.
Bait ketiga, memperlihatkan seseorang yang mengenal Allah sedang merangkak perlahan-lahan. “Waktu hati agak bangga”. Sombong sedikit saja, memikirkan bahwa dirinya ada sedikit kebaikan, cukup lumayan, (hanya sedikit, tidak banyak), segera “nyaris aku terjerembab”. Pengalaman seperti ini sering kali kualami. Sekarang bagaimana? Terus terang saja, “ku tak b’rani apa-apa”. Ku tak berani berbuat apa-apa, bahkan memikirkan pun tidak. “Ku perlu Kau dalam s’gala”. Artinya dalam setiap perkara, kapan saja dan di mana saja, aku selalu memerlukan Dikau. Di sini ada seseorang yang perasaannya sudah menempuh garapan yang beraneka ragam, sehingga di depan Allah, sedikit pun tidak terlihat kasar. Setiap kalimatnya mencerminkan nyanyian, setiap kata mengandung perasaan yang sangat menjamah Allah.
Akan tetapi, seseorang yang mengenal dirinya sendiri, tidak akan bisa berhenti di sini saja. Akhirnya, pasti datang juga ke hadirat Tuhan sambil berdoa, “Kau, Penolong yang perkasa, aku tak berpengharapan. Aku tidak memiliki apa-apa, aku hanya mencari Dikau. Aku orang yang terlemah”; kembali lagi pada bait pertama. Bukan setelah menyanyi segera usai. Tekadku rapuh, tenagaku pun lemah. Bertekad tidak mampu, berlari pun tidak mampu. Aku adalah yang terlemah dari antara yang lemah; aku harus hidup bagaimana? “Hidupku sandar kurnia-Mu”. Hanya kurnia-Mu yang kuperlukan. Yang sanggup membuat aku hidup.
Setiap kali Anda menghampiri Allah, jika perasaan Anda pernah menerima ujian dan tempaan, maka begitu terjamah oleh nyanyian yang telah menempuh ujian dan tempaan Allah, tentu perasaan Anda dapat memasuki nyanyian tersebut.
Contoh ketiga – Kidung no. 282
- Pabila jalanku `nuju sengsara
Bila `ni takdir-Mu mau ku mend’rita.
Ku mohon pada-Mu hubungan akrab,
Tiap saat bers’kutu lebihlah mesra. - Susut senang dunia, tambahkan “surga”,
Biar hatiku luka — roh tetap muja.
Mesra, manis dunia, oleh-Mu lepas,
Agar Kau denganku erat kian mesra. - Meski jalan sunyi, Kau serta s’lalu;
Senyum-Mu tarikku, depan t‘rus maju.
Lepas dari diri, oleh kurnia-Mu;
Jadi wadah suci, salur hayat-Mu.
Nyanyian ini juga tergolong sangat bagus. Kalimat-kalimat yang digunakan penuh ciri-ciri syair. Perasaan yang terkandung di dalamnya sangat dalam. Segala sesuatunya telah mencapai suasana luar biasa, amat tinggi dan dewasa. Jarang sekali nyanyian yang bersekutu dengan Tuhan bisa mencapai suasana demikian, tanpa ada paksaan dan keterlaluan. Ini boleh dikata pernyataan yang riil, patuh yang mutlak dari konsikrasi yang sepenuhnya. Suara ini keluar dari hati yang patuh mutlak tanpa tentangan kepada Tuhan.
“`Pabila jalanku `nuju sengsara, bila `ni takdir-Mu, mau ku mend’rita, ku mohon pada-Mu hubungan akrab, tiap saat bers’kutu lebihlah mesra.” Di sini kita menjumpai perasaan yang berkonsikrasi dan taat sepenuhnya.
Bait kedua merupakan bait terbaik. Perasaan dari bait ini lebih meningkat lagi. Dia menimbang-nimbang serta berdoa di depan Allah, kalau milik kesenangan dunia makin dikurangi, maka mohonlah kiranya surga ditambahi. Bukan minta terlepas atau diubah, melainkan makin lama makin banyak bersekutu. “Biar hatiku luka, roh tetap muja”. Di sini kita menemukan seseorang yang mempunyai kemampuan membedakan antara hati dan roh; hati boleh terluka, roh tetap memuja; hati boleh merana, roh tetap segar di hadapan Allah. Ia mengenal perbedaan antara hati dan roh. Ia tidak menuntut kenikmatan hati, melainkan kompensasi roh. Dia mulai menanjak ke atas, bahkan lebih menanjak pula. Kalimat pertamanya, “Susut senang dunia”, dan kalimat kelimanya, “mesra manis dunia”, kedua-duanya dirangkaikan dengan “dunia”, sehingga semakin terasa syairnya. “Mesra, manis dunia, oleh-Mu lepas, agar Kau denganku erat kian mesra.” Ia tidak menerima begitu saja, ia bukan sekadar menghindari, malahan menuntut persekutuan yang lebih sedap dan mesra. Perasaannya tepat, pengungkapannya tepat, corak susunannya pun tepat, alangkah indah dan manis!
Berhubung bait kedua telah mencapai titik puncaknya, maka bait berikutnya mulailah berdoa: “Meski jalan sunyi, Kau serta s’lalu; senyum-Mu tarikku, depan trus maju . . .” Penguatan atau dorongan dari “senyuman” sungguh rohani dan penuh makna syair. “Lepas dari diri, oleh kurnia-Mu; jadi wadah suci, salur hayat-Mu.” Artinya: “Tuhan! Aku tidak memiliki yang lain, kecuali satu harapan: Aku mohon kepada-Mu, agar lepaskan aku dari diri, sehingga menjadi bejana suci, untuk menempuh hidup bagi kehendak-Mu saja.” Inilah epilog dari doa seorang yang telah mengkonsikrasikan dirinya, dan yang sedang menderita. Jika nyanyian ini kita kaji dengan saksama, niscaya kita dapat merasakan bahwa nyanyian ini benar-benar bagus. Kita perlu belajar di hadirat Allah untuk menghayati nyanyian-nyanyian berikut roh dalam nyanyian-nyanyian.
IV. JENIS/ KATEGORI NYANYIAN
Nyanyian dapat kita bagi menjadi empat:
- Nafiri Injil,
- Puji-pujian,
- Kristus sebagai Hayat,
- Hidup Gereja.
Jenis pertama, nafiri Injil, dikhususkan bagi penginjilan, meliputi perasaan dosa, kedudukan orang dosa, kasih sayang Allah, kebenaran dan keadilan Allah, penebusan salib, bertobat, percaya . . . dan sebagainya.
Nyanyian Injil perlu dinyanyikan bersama para undangan Injil. Namun di sini terbentur suatu kesulitan, yaitu penggubah lagu dan syairnya adalah kita yang sudah beroleh selamat. Kita mempunyai perasaan yang tidak dimiliki oleh para undangan Injil. Menyuruh mereka menyanyikan lagu dan nyanyian di luar perasaan mereka tidaklah mudah. Namun, jika Allah memberkati nyanyian-nyanyian tersebut, niscaya akan terbongkar juga kebutuhan-kebutuhan yang terpendam di dalam diri kaum berdosa. Mereka akan nampak keadaan diri mereka, juga nampak karunia keselamatan Allah. Kadang-kadang orang dosa tidak tahu bagaimana berdoa, bagaimana menghampiri Allah. Melalui nyanyian-nyanyian, mereka lalu bisa berdoa di hadapan Allah, dan kalimat-kalimat pada nyanyian-nyanyian menjadi kata-kata yang mereka utarakan. Sering kali, nyanyian malah lebih efektif daripada doktrin. Yang penting, harus ada berkat Allah.
Nyanyian-nyanyian Injil kita jilidkan ke dalam buku kidung, agar anak-anak Allah dapat menggunakannya. Di saat penginjilan, sebaiknya ditulis dengan huruf yang besar pada lembaran yang besar, atau dicetak ke dalam lembaran-lembaran untuk mereka nyanyikan. Kalau mereka disuruh mencarinya di dalam buku kidung, itu kurang sesuai.
Jenis kedua, puji-pujian. Sejak kita beroleh selamat, di dalam kita sudah ada sukacita yang berasal dari surga. Maka, di dalam kita pun meluap syukur dan puji yang membubung ke surga. Makin maju kita di perjalanan rohani, makin tambah pula kita mengenal kasih sayang Allah, kebenaran Allah, karunia Allah, kemuliaan Allah, sehingga dengan sendirinya pujian kita tidak putus-putusnya mengalir keluar dari hati dan mulut kita. Nyanyian golongan ini meliputi segala pujian kita terhadap Tuhan dan Allah.
Jenis ketiga, Kristus sebagai hayat. Tujuan Allah menebus kita tidak lain menghendaki kita memperhidupkan hayat Kristus di dalam hidup kita sehari-hari. Allah tidak menyuruh kita meneladani Kristus, melainkan menghendaki Kristus yang telah bangkit, hidup melalui kita. Ketika Kristus berada di bumi, melalui tubuh yang diperoleh-Nya dari Maria, Ia telah memperhidupkan diri-Nya di dalam hidup-Nya; sejak Ia bangkit dan terangkat ke surga, Tubuh-Nya adalah gereja. Melalui gereja, Ia akan memperhidupkan diri-Nya.
Jadi, sewaktu kita masih sebagai orang dosa, yang kita tuntut adalah beroleh selamat dan dibenarkan; namun setelah kita menjadi kaum beriman, yang kita tuntut adalah mengenal hayat Kristus, mengalami hayat Kristus, dan memperhidupkan hayat Kristus di dalam hidup kita. “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal. 2:20). Dia hidup di bumi menggantikan kita, bagi kita Dia menanggulangi dosa dan pencobaan yang kita temui, Dia juga membereskan daging nafsani kita. Dia menjadi hayat kita, Dia menjadi kekudusan kita, Dia menjadi kasih kita, Dia menjadi riang gembira kita. Dia, bukan kita. Pekerjaan Roh Kudus pada zaman kini justru untuk ini. Mulai dari kita menuntut pengenalan terhadap hayat yang di dalam kita, sampai hayat tersebut terwujud pada kepercayaan, persekutuan, kepuasan, peperangan, dan pelayanan; semua nyanyian yang berkaitan dengan masalah penuntutan dan pengalaman hayat itu tergolong ke dalam jenis nyanyian ini.
Keempat, hidup gereja. Ini mencakup kehidupan orang Kristen sehari-hari, termasuk keadaan, pekerjaan, dan urusan sehari-hari. Jenis nyanyian ini meliputi bersidang, pernikahan, perjamuan kasih, rumah tangga, anak-anak, penyakit, dan lain-lain.
V. PENGGUNAAN NYANYIAN
Ketika kita menggunakan nyanyian, ada beberapa butir yang perlu diperhatikan:
1. Arah Nyanyian
Arah nyanyian ada tiga; nyanyian dapat kita nyanyikan ke tiga arah yang berbeda.
(a) Diarahkan kepada Allah
Ini merupakan bagian nyanyian yang paling utama. Dalam Kitab Mazmur, banyak mazmur yang diarahkan kepada Allah. Yang terkenal di antaranya adalah Mazmur 51, yang merupakan doa yang ditujukan kepada Allah. Semua nyanyian puji-pujian, nyanyian ucapan syukur, nyanyian doa ditujukan kepada Allah.
(b) Diarahkan kepada Manusia
Dalam Kitab Mazmur juga ada nyanyian yang diarahkan kepada manusia. Contohnya Mazmur 37 dan 133. Nyanyian jenis ini adakalanya memberikan doktrin, adakalanya mendorong orang datang kepada Allah. Semua nyanyian Injil, nyanyian anjuran, mengarah kepada manusia.
Kolose 3:16 – “. . . sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu” membuktikan bahwa nyanyian boleh dipakai untuk mengajar dan menasihati. Itu ditujukan kepada manusia. Namun, sering kali bersamaan dengan itu tak luput dari hati yang terharu sambil. memuji Allah; dan ini tentunya mengarah kepada Allah. Maka, nyanyian yang diarahkan kepada manusia, pada saat yang bersamaan sering juga diarahkan kepada Allah.
Dalam gereja, nyanyian yang diarahkan kepada manusia jangan terlampau banyak. Di antara kumpulan mazmur dalam Kitab Mazmur, bagian itu hanya sedikit. Nyanyian yang ditujukan kepada manusia bukan tidak boleh ada, hanya jangan terlampau banyak. Kalau banyak akan kehilangan makna utama dari nyanyian. Bagaimanapun, tujuan nyanyian ialah mengarah kepada Allah.
(c) Diarahkan kepada Diri Sendiri
Dalam Alkitab, ada lagi sejenis nyanyian yang ditujukan kepada diri sendiri. Dalam Kitab Mazmur, sering kita jumpai ungkapan, “Hai hatiku!” (atau diterjemahkan “Hai jiwaku!”). Itu semua diarahkan kepada diri sendiri. Mazmur 103 dan 121 adalah contoh yang baik sekali. Nyanyian macam ini merupakan persekutuan antara aku dengan jiwa(sukma)ku, perundingan antara aku dengan hatiku, pembicaraan antara aku dengan diriku. Setiap orang yang mengenal Allah, sudah tentu belajar bersekutu dengan hatinya sendiri. Aku menyanyi kepada diriku, aku berseru pada diriku, aku memanggil diriku, aku menggugah diriku. Nyanyian seperti ini, pada akhirnya selalu menggiring orang ke hadapan Allah. Orang bersekutu dengan hatinya sendiri, akhirnya selalu berubah menjadi persekutuan dengan Allah.
Nyanyian yang terarah kepada tiga sasaran tersebut, masing-masing memiliki fungsinya sendiri. Yang berkenaan dengan karunia keselamatan, bersekutu dengan Allah, ucapan syukur, dan puji-pujian, adalah ditujukan kepada Allah. Begitu gereja bersidang, sepatutnya memilih nyanyian yang diutarakan kepada Allah. Sewaktu bekerja, terhadap kaum beriman ataupun terhadap orang berdosa, nyanyian saat itu seolah digunakan sebagai khotbah, ditujukan kepada orang. Saat kita sendirian, kita boleh menyanyikan nyanyian yang bersekutu dengan diri sendiri. Kita perlu belajar di dalam sidang-sidang gereja (sidang pemecahan roti, sidang doa, sidang persekutuan), dengan wajar menyanyikan nyanyian yang mengarah kepada Allah. Kadang-kadang boleh juga bernyanyi kepada diri sendiri; dalam sidang pekerjaan (sidang penginjilan, sidang berkhotbah), boleh memakai nyanyian yang diarahkan kepada manusia, atau boleh juga memakai nyanyian yang diarahkan kepada Allah. Di rumah, waktu terbentur pada kebutuhan pribadi,, boleh memakai nyanyian yang ditujukan kepada diri sendiri.
2. Cara Menyanyi
Sepanjang yang kita ketahui, cara menyanyi di dalam Alkitab ada tiga. Yakni, bersama-sama, kanon (bersahut-sahutan), dan solo (satu orang).
Dalam zaman Perjanjian Lama, ada beberapa kali nyanyian dinyanyikan oleh orang Lewi, sedang yang lainnya kebanyakan dinyanyikan oleh khalayak. Mazmur dinyanyikan oleh khalayak besar. Sampai zaman Perjanjian Baru, hal nyanyian pun dinyanyikan oleh khalayak besar. Tuhan Yesus bersama murid-murid-Nya pada malam terakhir, “sesudah menyanyikan nyanyian pujian, pergilah Yesus dan murid-murid-Nya ke Bukit Zaitun” (Mat- 26:30), itu pun juga merupakan Mazmur yang dinyanyikan. Jadi, menyanyi bersama itu terjadi di zaman Perjanjian Lama maupun di zaman Perjanjian Baru.
Sejak adanya gereja, di samping menyanyi bersama, ada pula menyanyi kanon, dan menyanyi solo. Kolose 3:16 dan Efesus 5:19 menyinggung perihal kanon. Kanon ialah, salah seorang saudara bernyanyi, saudara yang lain menyahut. Yang satu menyanyi dan yang lain menyahut; atau beberapa saudara bernyanyi, beberapa saudara lainnya menyahut. Beberapa saudara lagi menyanyi, lalu beberapa lainnya lagi menyahut. Dalam gereja yang sebermula, menyanyi secara kanon ini hampir sebanyak menyanyi bersama. Dilakukan antara saudara dengan saudara. Setelah dalam gereja timbul golongan media atau perantara, barulah berubah menjadi bersahut-sahutan antara “paderi” dan “awam”. Sehingga berubah menjadi bernyanyi secara “pemimpin dan pengikut”. Kemudian berubah lagi menjadi pembacaan secara “pemula dan penerus”.
Kita yakin, di tengah-tengah kita, dalam hal menyanyi perlu sekali adanya pekerjaan pemulihan oleh Tuhan. Alkitab telah mencantumkan bersahut-sahutan, maka wajiblah kita bersahut-sahutan. Kita bagi bait demi bait, atau saudari menyahut saudara, orang satu menyahut khalayak, beberapa orang menyahut beberapa orang, yang duduk di sebelah kiri menyahut yang duduk di sebelah kanan. Baik sekali bukan?
Alkitab masih mencantumkan pula menyanyi secara solo. Satu Korintus 14:26, “Yang seorang mazmur, yang lain pengajaran, atau penyataan Allah, atau karunia bahasa lidah, atau karunia untuk menafsirkan bahasa lidah, tetapi semuanya itu harus dipergunakan untuk membangun.“ “Yang seorang mazmur“ ini ialah nyanyian yang dinyanyikan secara tunggal. Di tengah-tengah sidang, seorang saudara beroleh wahyu, yang lain punya sedikit pengajaran; ‘dan yang lainnya menyanyi. Nyanyian ini dinyanyikan oleh satu orang. Saudara yang di dalam dirinya merasa ada nyanyian, ada puji-pujian memenuhi dirinya, maka ia menyanyi. Ia bukan pelaku tunggal yang melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain, melainkan ia menyanyi mewakili gereja. Nyanyian yang dinyanyikan solo tadi, boleh sudah tertulis, boleh juga belum tertulis. Boleh jadi sudah dilengkapi lagu yang dikenal, atau bahkan belum ada. Kadang kala, boleh menyanyikan nyanyian rohani yang disebut di dalam Alkitab (Kol. 3:16; 1 Kor. 14:15). Waktu menyanyi, Roh Kudus langsung memberinya lagu dan kalimatnya. Dia itu digerakkan oleh Roh kudus sehingga menyanyi. Menyanyi solo, penyanyinya harus mencurahkan seluruh dirinya ke dalam nyanyian tersebut. Pendengarnya pun wajib pula belajar menerima suplai dari rohnya. Pendengar jangan terlalu memperhatikan suara dan iramanya, tetapi harus menerima suplai roh. Nyanyi solo ini, entah tadinya sudah ada, entah itu baru ada saat itu, harus ada gerakan istimewa dari Roh Kudus, baru boleh dilakukan nyanyi solo. Bukan seperti orang-orang yang senang menonjolkan diri. Sebab itu, bagi mereka yang tidak memiliki suplai roh, jangan sekali-kali menyanyi solo.
C. Belajar secara Riil
Terlebih dulu kita menghafalkan indeks atau daftar isi buku nyanyian, mengetahui pembagian golongan nyanyiannya. Setelah paham prinsip pembagian jenis, sifat, dan kegunaan masing-masing golongan, perlu mengingat letak nyanyian-nyanyian, sehingga begitu ingin menyanyikannya, bisa langsung kita temukan.
Kemudian, pelajarilah nyanyian-nyanyian yang paling berkaitan dengan diri Anda. Terlebih dulu memahami kalimat-kalimatnya, tanda-tanda bacanya, kemudian telusuri perkembangan pemikiran pengarangnya, bagaimana ia membawakan lagu tersebut. Hati Anda perlu terbuka, perasaan harus peka, tekad harus lunak, angan-angan harus bening.
Setelah itu, belajar menyanyikan. Mungkin seminggu sudah bisa menguasai dua atau tiga buah lagu. Kalau tidak bisa, pada mulanya senandungkan saja sebuah atau dua buah lagu setiap pagi. Anda boleh membuat sendiri cara melagukan yang sederhana, agar mudah Anda senandungkan. Dengan demikian, dengan sendirinya Anda bisa meraba roh nyanyian itu, dan dengan sendirinya pula, Anda bisa menambah perasaan rohani Anda. Tetapi, tetap harus belajar sesuai dengan notnya. Setelah bisa menyanyi, maka baik menyanyi bersama, menyanyi kanon maupun menyanyi solo, niscaya bisa mengikuti pimpinan Roh Kudus.
Nyanyian orang Kristen membuat kita memiliki perasaan rohani yang halus. Semoga kita memiliki sedikit pelajaran di hadirat Allah. Bila kita bisa dengan perasaan yang lembut menghampiri Allah, niscaya kita dapat lebih akrab bersekutu dengan Allah. Syukur kepada Allah, karena kelak di alam kekekalan, semua perasaan akan halus lembut. Kita tahu bahwa pujian di surga lebih banyak daripada doa di bumi. Berdoa itu akan berlalu, namun di alam abadi akan penuh puji-pujian. Pada hari itu, semua perasaan akan berubah menjadi halus dan lembut; hari itu adalah hari yang paling manis dan paling menggirangkan.